Cobaan, Ujian adalah sarana belajar.. agar menjadi lebih pandai..

Setiap episode kehidupan tak lain adalah cobaan.. anak, suami, harta dan segala yang melekat pada diri kita adalah ujian untuk kita, maka nikmat apa lagi yang engkau dustakan??

Sabtu, 23 Maret 2013

Sebulan Bersama Badai

te Hari-hari sepi sudah biasa kulalui. Biasanya sepulang kerja hanya ngobrol dengan suami, bercanda dan kembali dengan kesibukan kami masing-masing. Kuhabiskan waktu ku untuk kerja dan menulis hingga mataku mengantuk dan punggungku panas minta direbahkan. Kamis sore, sepulang kerja,kulihat ank lelaki kecil duduk di beranda rumahku. Rumahku memang tak berpagar,sehingga sering kali anak-anak tetangga bermain di halamanku. Tapi kali ini aku melihat seorang anak yang berbeda dari biasanya. anak itu kira kira berumur 4 tahunan, bertas ransel, berpakaian rapi dan duduk sendiri, sepertinya akan pergi jauh,dan ada seseorang yang sedang ditunggunya. Sekali-kali dia melongok ke ujung jalan, menunggu seseorang datang. Saatku datang, pipinya merona sambil tersenyum. tahi lalat dibawah matanyapun semakin terlihat jelas, kembali mata binarnya mencari seseorang di ujung jalan. "Tunggu siapa de.." ku coba berkenalan dengannya. Kembali dia tersenyum, dan tampak kegelisahan yang terbaca, kali ini kakinya melangkah kedepan dan terus dia berharap seseorang muncul diujung jalan. "Tunggu mama" Suaranya lirih terdengar, sepertinya sudah cukup lama dia menunggu, tangan mungilnya mengusap rambutnya yang agak kerinting, sehingga sekarang terlihat lebih menyembul keluar. "Tante masuk dulu ya.."Kutinggalkan si kriting, kuperhatikan dari balik jendela, dia tampak lebih tenang sepeninggalku. Sudah 15 menit si keriting belum juga beranjak dari beranda rumahku. Ku tengok dari balik jendela, dia terlihat mulai menghabiskan bekal rotinya. Botol minum dan box makannya sudah ada di sebelahnya,rupanya dia haus dan lapar.Ku perhatikan, ada bekas air mata di pipinya. aku pun bergegas keluar. "Ade.. mamanya belum datang ya..?" Wajah si keriting tampak semakin muram, kepalanya menggeleng dan air matanya pun semakin deras mengalir. "Tante temenin ya.." Ku duduk disebelahnya, kucoba menenangkannya hingga tak terasa, matahari pun mulai sembunyi. Tidak terlihat tanda-tanda seseorang akan datang, si kriting makin gelisah, dan air matanya terus mengalir sambil memanggil mamanya. Tak tega aku melihatnya, akhirnya ku bujuk anak itu untuk masuk ke dalam rumahku,apalagi suara azan magrib sudah memanggil. Tidak sulit untuk beradaptasi dengan si kriting, selain anaknya memang cerewet, dia juga ceria. Saat kutanya namanya pun dia langsung menjawab, namanya Badai. Sudah 3 hari badai di rumhku. Ku coba menghiburnya agar ke rinduan pada mamanya dapat terobati.Sesekali badai menanyakan mamanya yang tidak datang sampai saat ini. Ku nikmati kebersamaan denga Badai. Dia seperti air telaga yang menyiram hatiku, kerinduanku pada sang buah hati terobati dengan adanya Badai. Suami ku pun demikian,akan tetapi dia tetap menjaga jarak terhadap badai. Dia selalu mengingatkan ku, bisa jadi tiba-tiba Badai di jemput oleh orang tuanya, dan aku harus siap dengan situasi itu. Tak peduli dengan peringatan suamiku, Badai mulai melekat dihatiku. Saat pulang kerja, selalu aku tak sabar ingin bertemu dengannya. Dan tak jarang kubelikan mainan untuk menggembirakannya. Dia pun terlihat bahagia dengan oleh-oleh dan segala perhatian yang aku berikan. Tak terasa telah sebulan badai ada di rumahku. Kami semakin dekat, tak jarang malam-malam saat dia tertidur lelap, kupandangi wajah mungil nya, kadang tak habis fikir hingga ada orang tua yang meninggalkan ank yang begitu lucu sendirian dan kebingungan. Suatu sore, saat kami sedang bersenda gurau di ruang keluarga, seseorang mengetuk pintu rumah kami. Setelah kubuka, ternyata seorang ibu muda dengan penampilan sangat sederhana. Tiba-tiba Badai berteriak dari dalam dan menabrakku, lalu memeluk ibu muda tersebut. Aku hanya terbengong, badai menangis sejadi-jadinya, demikian juga ibu muda tersebut, kudengar ibu itu terus menerus meminta maaf pada badai. Tak terasa menetes air mataku, teringat kata-kata suamiku agar aku siap mengahadapi saat-saat seperti ini. Serasa kaki ku lemas, terbayang sudah Badai akan meninggalkan ku tuk bersama mamanya. Cepat ku tepis semuanya dan sgera ku ajak ibu muda itu duduk. Setelah kami berkenalan, Maya demikian nama ibu muda terebut. Dengan penuh kesedihan dia menceritakan sebab dia tinggalkan Badai di halaman rumahku. Ternyata dia sedang menghadapi masalah dengan Ayah Badai. Perangai buruk ayah Badai memaksa dia meninggalkan Badai di rumahku, selain itu, Maya pun telah mengamati aku dan suami, dan Maya mempercayakan bahwa kami tak akan menyia-nyiakan Badai, sementara dia urus perceraiannya dengan suaminya. Kini masalah Maya dan suaminya sudah selesai, dan dia telah siap untuk ambil kembali Badai dari sisiku. Ku berusaha tegar menghadapinya, ku lepas Badai dengan mata berkaca, demikian juga Badai, matanya terlihat berat berpisah dengan ku. Lama-lama Badai sudah tak terlihat lagi, Dia mengilang di ujung jalan, dengan tas ransel yang dia bawa dulu. Tak tahan lagi dengan segala kesedihan ini, Ku tumpahkan tangisan ku pada suamiku, kehilangan yang amat sangat serasa menyakiti hatiku, tak ada kata-kata lagi, hanya air mata dan nafasku yang tersengal-sengal menahan kesedihan yang membuncah dada. Meski saat-saat ini telah ku persiapkan, namun kehilanganku pada Badai membuat langkahku gontai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo.. komen nya apa..